Resensi Ayat-ayat Cinta
Mengembara ke Negeri Seribu Manara
Judul : Ayat-Ayat Cinta
Penulis : Habiburahman El Shirazy
Editor : Arif Sirsabea
Desain Cover : Abdul Basith El Qudsi
Tebal : 413 halaman
Habiburahman El Shirazy biasa dipanggil adik-adiknya Kang Abik, pemuda kelahiran Semarang , 30 September 1976 ini tak perlu diragukan lagi dalam menulis, ia menghasilkan banyak karya “baik” terbukti dengan prestasinya di dunia yang dia geluti (AAC:407-409). Salah satu novel yang meledak dan fenomeal sekarang ini adalah Ayat-Ayat Cinta, meski cetakan pertamanya Desember 2004 (sudah lama ya…). Nah, saking fenomenalnya bulan lalu bahkan telah beredar filmnya yang bukan tak mungkin anda telah menontonnya (presiden aja sampai menitikan air matanya lho,,,).
Novel yang berlatar Mesir ini agak seram jika melihat ketebelannya yang 400 lebih, kita akan terbiasa baca novel di bawah 150 halaman (iya gak…?). Latar Mesir sangat kental dan detail. Meski kita belum pernah ke Mesir, kita merasa seolah-olah mengembara ke negeri seribu menara dan merasakan sensasi keindahannya yang eksotis. Seperti gaya Ahmad Tohari yang sangat lugas dan piawai dalam menceritakan latar tempat maupun latar sosial.
Tema yang diusung novel ini adalah mengingatkan kita bagaimana seharusnya bergaul dengan Allah (habluminallah) dan denan sesama manusia (habluminanas) baik yang sepaham atau tidak di muka bumi ini. Penggunaan alur yang lambat dan tidak terkesan ingin cepat mematikan salah satu tokoh, meski pada akhirnya tokoh Maria meninggal dengan indah yang membuat kita merasakan lapang dada menerimanya. Karena penyampaiannya inilah kita akan rugi jika satu lembar dilewati begitu saja, kita harus sabar menikmati bacaan lembar demi lembar. Berdasarkan akhir ceritanya diselesaikan oleh pengarangnya sendiri, akhir cerita yang happy ending bagi tokoh utama (Fachri dan Aisya) setelah mengalami peristiwa dikhianati orang yang mereka tolong.
Sudut pandang yang digunakan pengarang adalah orang pertama. Pengarang sangat berhasil mendeskripsikan tokoh utama, membawa pembaca seolah-olah menjadi tokoh utamanya. Gaya pengarang yang tidak membosankan dalam membuka karakter tiap tokoh. Pembaca diajak menyelami lebih dalam tokoh Maria dengan diarinya yag dibaca Fahri. Karakter tokoh Fahri kita bisa tahu dari surat Noura yang sangat romantis. Sedangkan karakter tokoh Aisya dari penceritaan langsung dari tokoh Aisya sendiri.
Dari kelebihan unsur intrinsik yang telah diuraikan ternyata lebih asyik lho jika kita mebaca novelnya sendiri tanpa selembarpun dilewati, kita bisa mengembara ke negeri seribu menara dan membuka cakrawala kita tentang habluminaallh dan hablumminanas yang sekarang ini sedikit memprihatinkan dengan marraknya aksi kekerassan serta menembah kosakata kita terhadap Bahasa Arab dan Jerman (belajar dikit-dikit gitu lhooo….). Pokoknya banyak deh nlai-nilai kehidupan islami yang dapt kita petik dari novel ini..
(Teti Yuniawati, S.Pd. 2007)