Resensi Lanun
Diksi dan Peristiwa dalam Puisi
Oleh Teti Yuniawati
Judul Kumpulan Pusi : Lanun
Penulis : Ismail Kusmayadi
Editor, Cover, dan layout : Desfira Harmis
Cetakan I : 2016
Penerbit : Dhesfi Pressindo
Tebal : 85 halaman
Ismail Kusmayadi, S.Pd. lahir 3 Mei 1976 di Bandung. Lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidkan Indonesia (UPI) tahun 2001.
Saat ini mengajar di SMAN 1 Banjaran Kabupaten Bandung sekaligus pembina ekstrakurikuler Pers Sekolah dan Komunitas Pengajian Sastra (KPS).
Telah banyak karya yang ditorehkan. Beberapa cerpen, puisi, artikel, esai, resensi buku, kartun, dan drawing telah dimuat di beberapa media, diantaranta Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Koran Tempo, Majalah Horison, dan Majalah MataBACA.
Antologi cerpen terhimpun dalam Menunggu Hujan Reda (2006), dan Balamba dan Gadis Berambut Bidadari (2017). Cerpen Balamba dan Gadis Berambut Bidadari juga mengantarkan Ismail menjadi juara harapan 1 Green Pen Award Perum Perhutani.
Selain fiksi, buku nonfiksi yang diterbitkan diantaranya adalah Menjadi Guru Pro Itu Mudah (2010) dan Guru Juga Bisa (Me-)Nulis.
Antologi Lanun terdiri atas 66 puisi yang dibuat antara 1998 sampai dengan 2016. Ada 6 puisi yang susunanannya tidak berdasakan tahun. Puisi Rindu Batu-batu (2001), Bungaku (1998), Episode Pagi (2001), Suatu Pagi (2000), Kupu-Kupu Ayu (2000), Abu-Abu (2000). Selebihnya tersusun berdasarkan waktu dari 1998-2016.
Dari segi diksi, membaca Lanun seperti berjalan melewati turunan dan tanjakan. Adakalanya turun jika menemui puisi yang mudah dipahani. Dan menemui tanjakan jika membaca pusi yang sulit dipahami.
Dari pemilihian judul atau diksi dalam larik-larik puisi. Seperti Lanun yang menjadi judul antologi buku ini, yang merupakan istilah lain dari bajak laut atau perampok. Persamuhan arti menurut KBBI adalah pertemuan (persidangan atau kongres). Dari kata dasar samuh.
Ada yang menarik dari diksi yang digunakan berulang di beberapa puisi. Diksi senja, purba, dan kupu-kupu.
Diksi senja terdapat pada 4 puisi. Pertama, pada puisi “SENJA YANG DINANTI” (9) larik pertama dan ketujuh yaitu “Ada yang menanti senja”. Kedua, pada puisi CAHAYA (39). Larik keempat, “Selepas senja, dirimu bagai doa”. Ketiga pada puisi KUTITIPKAN PADA SENJA (66). Larik keenam belas, “telah kutitipkan pada senja”. Pada puisi keempat, senja tidak disandingkan dengan diksi yang bermakna indah dan romantis. Pada puisi kempat MUAL (75) diksi senja tidak lagi indah dan romantis. “Mengapa perutku mual setiap kali/ kau berbicara tentang senja?/”
Diksi purba terdapat pada halaman 26, 37, dan 38. Bayangan purba, matamu begitu purba, dan wajah daun yang purba. Puisi KULAHIRKAN SAJAK DARI MATAMU (26) bercerita tentang kesadaran aku lirik terhadap seseorang yang menyimpan rasa cinta kepada aku lirik. Puisi DEDAUN MATAMU (37) bercerita tentang aku lirik yang dekat dengan seseorang yang mempunyai masa lalu yang kelam tapi aku lirik berharap agar seseorang tersebut tidak meninggalkannya karena aku lirik telah benar-benar jatuh cinta. Larik pertama “matamu begitu purba menyimpan rahasia daun yang resah”. Larik terakhir “karena aku sudah begitu lekat pada mata purbamu”. Puisi Rahasia Daun (38) bercerita aku lirik berdoa agar dipertemukan dengan jodohnya.
Diksi selanjutnya adalah kupu-kupu terdapat dalam tiga puisi. KUPU-KUPU AYU (17), KUPU-KUPU DI JALAN ITU (25), dan KULAHIRKAN SAJAK DARI MATAMU (26). Puisi yang saya suka adalah puisi yang kedua.
Kupu-Kupu di Jalan Itu
Sepi menyeruak dari dasar lembah yang pekat
Angin dingin menyeret ujung daun hingga terlepas
Dan ranting-rantingnya yang kurus, tapi
Bagaimana aku gambarkan tentang sepi?
Adakah pengembara yang sudi memungutnya dan
Menidurkannya di pembaringan hangat?
Meski batu-batu mencair menjadi semacam
Lelehan air mata, aku tetap sangsi bahwa
Kupu-kupu itu akan terbang lagi!
Puisi tersebut mengingatkan saya bagaimana akhir kehidupan para PSK (Pekerja Seks Komesial).
Dalam antologi ini, terdapat 4 puisi yang ditujukan untuk seseorang secara tersurat. LADANG CINTA:daf (30). Puisi ini untuk istri penyair yang berinisial daf. Kutanam benih cinta/di hamparan ladangmu/yang membentang laksana/sajadah sujudku// benih itu perlahan tumbuh/ mengakar dalam kerinduan/ pucuk-pucuk segar yang diselimuti/embun mengekalkan bening yang memesona// akan kutancapkan lagi jutaan benih cinta/ di ladangmu yang makin merona/ yang makin membuatku tergila-gila!//
Puisi kedua, CAHAYA : najwa (39). Puisi untuk anak perempuan pertama penyair, Najwa. Bait pertama dari lima bait.
ada yang menitipkan kepadaku
semacam cahaya yang berpijar
di gubug ini
….
Puisi ketiga, SUATU PAGI: sofyan (16). Puisi untuk sahabat penyair yang telah pergi. Begitulah, air begitu mudah mengalir/ ketika hujan turun maupun terik// ingin rasanya kedendangkan lagi/ cerita-cerota tentang gubug, ilalang,/ daun-daun, dan segala sesuatu yang tumbuh/ di hati kita// namun, kau telah berlalu!//
Puisi yang keempat, NAMAMU di SURGA Untuk ayahanda yang wafat dalam tragedi Mina 2015 (60). Ayah penyair merupakan salah satu korban dalam tragedi Mina pada September 2015. Tangisan keluarga entah harus ditafsirkan sedih atau bahagia, yang pasti mereka yakin, ayahnya telah mencatatkan nana di surga. Ketika membacanya, saya meneteskan air mata. Teringat sosok ayah sendiri yang telah tiada pada 2011 dan ayah mertua pada 2009.
Tema dalam antologi ini dapat digolongkan menjadi lima tema umum, yaitu cinta kepada kekasih, cinta kepada orangtua, cinta kepada tuhan, kemanusiaan, dan tema tentang alam.
Seperti dalam prakata Lanun. Ismail mengatakan bahwa puisi merupakan potret sebuah pristiwa yang dialami dan dirasakan. Dengan buku ini, Ismail ingin membagikan peristiwa demi peristiwa yang dialaminya kepada pembaca. Peritiwa tersebut diantaranya adalah peristiwa kematian ayahnya yang telah disinggung di paragraf sebelumnya. Sebelum peristiwa kepastian kematian ayahnya, tiga puisi telah dibuat yaitu Kabar itu Datang#1, Kabar itu Datang #2, dan Kabar itu Datang#3. Terdapat di halaman 57-59.
Peritiwa lain yang ingin dibagikan adalah wisata ke Jogjakarta. Terlihat dari judul puisi yang dibuat pada 2016. Stasiun Lampuyungan, Merapi #1, Merapi#2, Malioboro, dan Off Road.
Dari ulasan di atas bahwa penggunaan diksi yang sama untuk beberapa puisi adalah sah-sah saja karena makna dan pesan yang disampaikan dalam puisi juga toh berbeda.
Dua puisi yang menimbulkan banyak tanya di kepala saya yang tak bisa dijawab. Katakalah masih misteri ada apa? Mengapa? Seolah-olah penyairnya pun ingin menyembunyikan peristiwa yang mendasari ide puisi. Kedua puisi tersebut adalah 17 Desember 2002 di halaman 27 dan puisi di halaman 43 yang judulnya sangat panjang namun isinya hanya satu larik.
DI SETIAP PERTEMUAN ADA SESUATU YANG AMAT LEKAT SEPERTI MAMBACA KISAH LAMA YANG BEGITU MELEGENDA
Semoga kau pun merasaknnya!
1 Mei 2004
Saya sedikit terganggu dengan jenis tulisan di akhir antologi ini karena berbeda dengan jenis tulisan di puisinya. Padahal di akhir buku itu memuat sekilas tentang penyair.
Di halaman 3 buku ini, ada pesan penyair “Teruntuk bidadari yang selalu mendampingi dan buah hati yang mengisi hari-hari” dibingkai dalam shapes yang kurang menarik dan kurang romantis. Pemilihan shapes perlu diperhatikan kembali jika buku ini akan di cetak ulang.
Hal lain adalah kekosongan pada tiap lembar puisi. Sebenarnya bisa disiasati dengan drawing atau kartun karena penyair sendiri punya kemampuan di ranah tersebut. Hal itu akan menambah kualitas buku dan membantu penyampaian makna pada pembaca serta tentu saja lebih menarik.
Terlepas dari kekurangan teknik penuliasan. Antologi Puisi Lanun ini layak dijadikan referensi untuk belajar membuat puisi. Dari mulai menggunakan diksi yang sederhana, kalimat berkonotasi, dan kalimat bermajas. Diharapkan pembaca mempunyai keberanian dalam mengungkapkan peristiwa yang dialami dalam larik-larik puisi.
2019