Resensi Lelaki Tua dan Ibu Sepuh Ratu Rita
Judul Lakon | : | Lelaki Tua dan Ibu Sepuh Ratu Rita |
Naskah | : | Aan Sugiantomas |
Sutradara | : | Aan Sugiantomas |
Astrada | : | Arip Hidayat |
Pimpinan Produksi | : | Aan Anjasmara |
Produksi | : | Teater Sado |
Tempat Pentas | : | Gedung Kesenian Raksawacana Kuningan |
Waktu Pentas | :
: |
29 Februari s.d. 13 Maret 2016
6 Maret 2016 Jam 14.00 |
Tokoh Utama
Abah Acim Ibu Sepuh Ratu Rita Cangik Ranjit Kempet
|
: : : : : |
Ipung Kusmawi Trisya Margaretha Ipan Jante Andiyanto Unang Nurasa |
Dari penjelasan buku yang dibagikan, Aan Sugiantomas adalah penulis naskah dan sutradara lakon Lelaki Tua dan Ibu Sepuh Ratu Rita (LTdISRR) yang sekaligus penggagas teater Sado Kuningan. Teater Sado sendiri berdiri 1997 sebagai teater kampus STKIP Kuningan. Namun, awal 1998 Tetaer Sado menjadi kelompok teater di luar kampus yang beralamat di rumahnya sendiri Jalan Otista/Sawahwaru no 888 Kuningan dan disebut sebagai teater latihan. Hal itu berdasarkan pemikiran ke depan bahwa di Kuningan harus memiliki tempat berkumpul yang lebih terbuka.
Aan juga merasa tak nyaman menjadi guru yang cuma bicara di ruang kelas dan ruang formalitas lainnya. Menurutnya, dengan cara berkumpul, bersahabat, bersaudara, dan berdialog, siapapun bisa menghasilkan ide kreatif konkret. Penghuni Teater Sado adalah orang-orang yang mau saja bukan mereka yang basa basi. Dia sangat yakin bahwa mereka adalah sahabat, saudara, dan anak kekalnya.
Pada perkembangannya, Teater Sado tidak hanya bergulat dalam dunia seni peran tetapi mengalir ke wilayah seni hidup lainnya, seperti lukis, pahat, musik, handycraf, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik, fotografi dan videografi, konveksi, dll. Bahkan dengan sadar masuk ke wilayah industri kreatif apapun wujudnya. Semuanya tidak lepas dari nafas artistik, kerjasama, disiplin, manajemen teater sebagai dasar pijakannya karena manusia Sado pantang terpuruk saat berada di panggung kehidupan yang sesungguhnya.
Pendidikan Aan Sigiantomas dari SD, SMP, dan SMA dijalaninya di Kuningan. Selepas SMA pernah beberapa tahun kuliah di Teknik Mesin di Surabaya. Namun akhirnya kuliah di Jakarta dan menyelesaikan studinya dengan mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sudah banyak karya yang dibuatnya baik berupa puisi, cerpen ataupun naskah drama untuk dipentaskan di berbagai kota. Beberapa naskah dramanya yang dipentaskan adalah “Monolog Mayat dan Kekasihnya”, “Rama Lawan Rahwana Versi WBA”, “Ken Arok Murud Loh Gawe”, “Dalam Ruang Terbatas”, “Mimpi Kartowiyoga”, “Srikandi Bimbang”, “Bimbang Dewi Rara”, “Dialog Rama Rahwana”, “Patung Raja Patung”, “Dedes Terperdaya atau Memperdaya Menjadi Sah-sah Saja”, “Sandiwara Orang-Orang Negeri Dangdut”, “Ada Mayat Kentut”, “Pantun Teroret”, dll.
Aan tak lelah mengajak anak-anak muda, baik atas nama Teater Sado atau Dapur Sastra berpetualang pikir, rasa, berkehandak, dan bergerak mencari pengalaman untuk hidup mereka kelak. “Agar kalau mereka tua nanti akan sangat memahami anak muda, sebab mereka pernah merasakan muda. Dan bukan malah menuntut dipahami anak muda yang nyata-nyata belum pernah merasakan tua”, katanya.
Lakon LTdISRR diawali orang-orang Desa Tanah Rekah memperbincangkan perseteruanya dengan Desa Selangit sambil menyindir Abah Acim yang hanya diam, yang hidupnya tinggal 10%. Namun, malah berbalik arah ketika orang-orang Desa Selangit menyerang dan terjadilah pertempuran antara orang-orang Desa Tanah Rekah dengan orang-orang Desa Selangit. Korban paling banyak dari Desa Tanah Rekah tak terkecuali yang mengatakan bahawa Abah Acim hidupnya hanya tinggal 10%, malah dia sendiri yang hidupnya tinggal 10% dan meninggal.
Persetetuan ini karena warga Desa Selangit tidak mau memberikan sedikitpun aliran dari mata air yang melimpah.
Warga Desa Tanah Rekah banyak yang menjadi pencuri air, mereka berusaha untuk mengalirkan sedikit air dari Desa Selangit. Namun, hal ini tentu saja ditentang oleh warga Desa Selangit dengan memburu para pencuri air. Mereka menganggap orang Desa Tanah Rekah adalah kasta terbawah, orang susah, orang miskin yang tak perlu dikasihani, dan harus tetap mengabdi kepada mereka, jadi budak mereka, wanita-wanitanya tetap berjualan jamu sekaligus pemuas nafsu mereka.
Sering terjadi kontak fisik diantara warga dua desa tersebut. Kempet, anak Ranjit, cucu dari Ibu Sepuh Ratu Rita terkena pukulan di hidungnya yang membuat hidungnya luka dan berdarah. Hal itu membuat Ranjit ayahnya emosi tak kepalang dengan mencari Cangik untuk membelas dendam.
Cangik adalah anak pungut Abah Acim dan pemimpin anak muda Desa Tanah Rekah untuk melawan kedurjanaan orang-orang Desa Selangit. Abah acim mempersiapkan Cangik untuk mempunyai harga diri, tanah, dan air.
Saking bersemangatnya melawan keangkaramurkaan orang Desa Selangit, Cangik tak menyadari bahwa Abah Acim di masa lalunya sangat memuja cinta. Cinta seorang wanita berdarah biru yang ternyata selama ini menjadi musuh warga Desa Tanah Rekah. Ibu Sepuh Ratu Rita. Abah Acim rela membujang selama hayatnya.
Saat pertemputan memuncak justru Abah Acim memilih nalurinya untuk membawa lari orang yang dicintainya, Ibu sepuh Ratu Rita yang selalu menyebutnya kempot. Namun malah dibunuh oleh Ibu Sepuh Ratu Rita Sendiri karena dia memilih menjaga darah birunya, menjaga kekuasaannya, menjadikan Desa Selangit tetap di atas trah yang berkuasa. Ia sendiri bunuh diri karena tak mampu melihat kehancuran keningratannya.
Ranjit ingin anaknya kuat, tangguh, keras seperti dirinya. Tapi neneknya selalu memanjakannya. Ini berakibat kepada tindakannya yang melempem, manja, bahkan tak berani bertarung saat terjadi pertempuran hebat. Dia hanya melihat dengan neneknya dari kejauhan. Sampai akhirnya berkata “Saya lelaki kan Nek” berulang-ulang. Mengakhiri lakon.
Beberapa pelajaran moral yang dapat kita ambil dari lakon LTdISRR diantaranya adalah bahwa biasanya seorang nenek akan selalu memanjakan cucunya. Kekuasaan yang dijalankan dengan tangan besi lambat laun akan menimbulkan perlawanan. Kekuasaan tanpa naluri cinta atau kemanusiaan akan kering kerontang. Pada akhirnya cita-cita yang diperjuangkan dengan kerja keras dan doa akan berhasil.
Totalitas para pemain lakon LTdISRR sangat kental terasa. Tidak hanya pemeran utama, pemeran pendukungnya pun dapat mengimbangi akting Cangik yang memukau.
Isu LGBT yang sedang hangat dibicarakan publik pun disentil halus dalam lakon ini. Ada di salah satu adegan yang dilakonkan Wati, Isyeu, Juah, dan Marni. Adegan Isyeu yang hampir berciuman bibir dengan Juah.
Setting panggung yang menarik. Penuh simbol kehidupan. Sangat tepat pemilihan profertinya. Desa Tanah Rekah digambarkan dengan pepohonan yang meranggas. Sedang Desa Selangit digambarkan dengan pepohonan rimbun nan hijau.
Dari adegan demi adegan yang dimainkan selama 2 jam, ada dua adegan yang mengganggu, ketika terjadi dialog yang sangat serius antara Abah Acim dan Cangik untuk masa depan Desa Tanah Rekah, dialog yang membakar semangat Cangik. Penonton sudah terbangun emosi klimaksnya. Tiba-tiba muncul Wati hanya memakai handuk hijau dan kelihatan tali BH merah dan beradegan mandi dengan bersungut-sungut. Pun ketika terjadi pertempuran warga Desa Selangit dengan Desa Tanah Rekah, ada ucapan dari salah satu pemain “IIh..rame jiga main PS”.
Terlalu banyak adegan sisipan Wati Cs sedikit menggangu meski mengundang tawa. Jadi esensi perjuangan dan perlawanan warga Desa Tanah Rekahnya sedikit pudar. Hal ini mungkin bertujuan agar penonton tidak bosan selama pementasan.
Vocal tokoh Isyeu ketika menimpali monolog Abah Acim tidak jelas. Hal ini karena blokingnya terlalu pojok.
Alunan musik yang terdengar mendayu dayu dan lembut terkadang tidak pas dengan dialog yang sedang memuncak. Sangat terasa ketika adegan Cangik yang manyadari arti namanya seharusnya musiknya agak keras.
Terlepas dari kekurangan. Pentas LTdISRR, Selasa, 6 Maret 2016 mendapat apresiasi yang sangat baik dari penonton. Drama ini layak ditonton oleh orang yang mencintai proses kreatif, tertarik dunia seni khusunya dunia peran, berkecimpung dunia pendidikan, siswa SMA untuk merangsang daya analisis dan mengaitkannya dengan kehidupan nyata agar memahami pesan moral yang ada dalam karya.
Keluar dari ruang pementasan banyak hal harus direnungkan terutama tentang kekuasaan dan naluri. Semoga kita tak memilih yang salah dan bisa bersikap bijak menyikapi segala persoalan.
Oleh : Teti Yuniawati, S.Pd